Ronggeng Gunung adalah jenis tarian buhun alias kuno yang asal muasal sejarahnya belum banyak diketahui. Salah satu mitos tentang ronggeng gunung muncul secara lisan turun temurun berkaitan dengan kisah pilu putri Prabu Siliwangi, Dewi Samboja dan Raja Anggalarang dari kerajaan Pananjung, sebuah wilayah di Kabupaten Pangandaran.
Dalam bahasa sansekerta, ronggeng berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan hati. Sedangkan kata gunung berkaitan dengan pegunungan atau perkampungan sebagai tempat tarian ini berasal.
Kesenian ronggeng juga tercatat pada masa penjajahan bangsa Eropa. Dalam buku The History of Java, Gubernur Jenderal Stamford Thomas Rafles mencatat, Ronggeng merupakan pertunjukan keliling yang dilakuan oleh perempuan yang berasal dari gunung. Di masa lalu, Ronggeng Gunung diadakan untuk keperluan upacara adat seperti panen raya sebagai ungkapan rasa syukur.
Pada era perkebunan kolonial, pertunjukan ronggeng digelar sebagai sarana hiburan yang harus dilakukan perempuan pribumi untuk tenaga ahli kontrak yang didatangkan Belanda. Saat ini kesenian Ronggeng Gunung hanya digelar untuk ritual-ritual khusus seperti hajat laut, selamatan bayi, acara besar pemerintahan, atau hajatan budaya rakyat.
Dari laman situs resmi Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis, terungkap, secara historis dan geografis, Ronggeng Gunung merupakan seni tari tradisional kuno yang berasal dari Priangan Timur, tumbuh dan berkembang di wilayah Ciamis Selatan dan Pangandaran. Seperti, Ciparakan, Panyutan, Burujul, Banjarsari, Pangandaran dan Cijulang.
Sebelum pertunjukan dimulai, biasanya diadakan ritual dan pemberian sesajen, seperti aneka kue kering sebanyak tujuh rupa dengan warna berbeda, pisang emas, sebuah cermin, sisir dan rokok. Hal ini dimaksudkan agar pertunjukan berjalan lancar. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, hal itu lambat laun pun ditiadakan.
Nina dan Udang lewat Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran, mengungkapkan, ronggeng gunung merupakan seni pertunjukan sebagai sarana pelepas lelah usai aktivitas bertani dan biasanya diadakan pada malam hari. Kesenian tari tradisional Ronggeng Gunung menggunakan alat musik terdiri dari kendang, ketuk, kecrek, dan goong. Jumlah penarinya terdiri dari sekitar sepuluh orang laki-laki dan satu perempuan yang menjadi sinden.
Sang sinden kemudian bernyanyi tembang atau kawih dengan cara khas melengking, mengiring gerakan para penari. Isi lirik tembang berisi tentang kesedihan Dewi Samboja yang terpaksa harus kehilangan suaminya, Raja Anggalarang yang mati terbunuh oleh Kalasamudra, pemimpin bajak laut dari seberang lautan.
Dalam mitosnya, Dewi Samboja yang marah dan berduka karena harus kehilangan suaminya, kemudian belajar seni bela diri dan menari tari ronggeng. Ia lalu menyamar menjadi Nini Bogem, seorang penari ronggeng dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya, pada suatu kesempatan Dewi Samboja dapat bertemu Kalasamudra dan mengajaknya menari. Ia berhasil membalas kematian suaminya dengan cara membunuh Kalasamudra.
Gerakan tarian Ronggeng Gunung cukup sederhana, lebih banyak berfokus pada gerakan kaki. Para penari berjumlah tetap, yaitu sekitar tujuh sampai sepuluh orang laki-laki yang kemudian menari secara berkelompok membentuk lingkaran, bergerak searah jarum jam mengelilingi ronggeng. Gerakannya sangat halus. Setiap penari masuk dan keluar dari area menari, diawali dan diakhiri suara goong.
Para penonton tidak diperkenankan ikut menari karena terikat aturan pakem jumlah penari Ronggeng Gunung yang berjumlah sama. Selain itu, pada kesenian Ronggeng Gunung, juru kawih atau sinden dan penari ronggeng juga adalah orang yang sama.
Ada aturan khusus terkait tembang yang dilantukan sinden Ronggeng Gunung asal Priangan Timur ini, yaitu tidak boleh sembarangan dinyanyikan. Setiap lagu memiliki urutan tertentu dipadupadankan dengan tarian khusus yang terhimpun dalam satu babak.
Ada lagu pembuka, lagu inti dan penutup - yang kesemuanya menggambarkan kisah Dewi Samboja bersama pengikutnya. Lagu-lagu tersebut diantaranya adalah, Kanajom, Kudup Turi, Tunggul Kawung, Sasagaran, Raja Pulang, Torondol, dan lagu seperti Ladrang, Sisigarang, Jangganom, dan lain sebagainya.
Dalam setiap pertunjukan, pakaian yang dikenakan para pemain juga sangat sederhana dan sopan. Sinden mengenakan kebaya dan sinjang (kain). Penabuh alat musik (waditra) mengenakan baju dan celana pangsi serta ikat kepala (iket).
Sementara, penari pengiring berpakaian serupa dengan penabuh alat musik, hanya ditambahkan kain sarung yang diselendangkan ke pinggang, atau dikerudungkan ke kepala dan menyandang golok sebagai pelengkap tarian. Saat ini busana penari, maupun anggota kelompok musik sudah lebih bervariatif. Tata rias, dekorasi panggung dan peralatan musik pun sudah lebih komprehensif.
Perkembangan Ronggeng Gunung
Ronggeng Kaler
Seiring perkembangan zaman, kesenian Ronggeng Gunung mulai mengalami pergeseran. Dari segi pementasan Ronggeng Gunung cukup monoton dan pakem aturan, mendorong lahirnya kesenian ronggeng yang lebih fleksibel dan variatif. Risa Nopianti dalam Dari Ronggeng Gunung ke Ronggeng Kaler: Perubahan Nilai dan Fungsi, menuturkan, Ronggeng Kaler merupakan perwujudan dari akar kesenian Ronggeng Gunung yang telah mengalami beberapa perubahan.
Meskipun pada dasarnya sama-sama seni ronggeng, pada Ronggeng Kaler jumlah alat musik (waditra), selain alat gamelan tradisional, ditambahkan alat musik modern seperti drum. Juru kawih atau sinden juga adalah orang yang berbeda. Pada Ronggeng Kaler, jumlah penari tidak hanya satu orang melainkan tiga sampai enam perempuan.
Gerakannya lebih dinamis, penari ronggeng diperkenankan untuk menari berpasang-pasangan dengan penari pengiring atau penonton yang bersedia diajak menari untuk memeriahkan suasana. Pada seni Ronggeng Kaler juga terdapat kebiasaan memberi sawer. Sawer adalah uang yang biasa diberikan penari pengiring laki-laki pada penari ronggeng, hal yang tidak terdapat pada Ronggeng Gunung.
Ronggeng Amen
Wujud perkembangan kesenian Ronggeng Gunung juga turut menciptakan lahirnya Ronggeng Amen atau Ronggeng Kidul. Nina dan Udang lewat Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran, kembali menuturkan, Ronggeng Amen lebih populer dan lebih disukai masyarakat Pangandaran saat ini. Hal ini karena Ronggeng Amen lebih meriah karena diiringi gamelan Kliningan dan tembang populer seperti lagu dangdut atau sunda pop yang sedang hits.
Perbedaan Ronggeng Amen dengan Ronggeng Gunung juga terdapat pada busana busana yang dikenakan para pemain. Busana yang dikenakan nayaga maupun penari, berupa pakaian tradisional yang telah dimodifikasi sehingga baik model, warna, motif, yang maupun atribut adat lainnya seperti iket, sarung, gelung, siger, selendang tampak jauh lebih menarik dan trendi.
Dalam Ronggeng Amen juga biasanya terdapat lima hingga tujuh ronggeng, diiringi sekitar belasan penabuh alat musik (nayaga) dengan waditra cukup lengkap berupa saron 1, saron 2, bonang, rincik, demung, peking, selentem, kenong, kendang, rebab, kecrek, dan goong.
Di masa kini, pertunjukan Ronggeng Amen lebih ke penyajian seni hiburan, dan kerap dipertunjukan dalam pesta perkawinan, khitanan atau perayaan lainnya yang sama sekali tidak mengenal tahapan ritual, yang sebelumnya terdapat pada Ronggeng Gunung.
Para penonton juga lebih leluasa menggunakan pakaian apa saja, mulai dari busana tradisional hingga modern tergantung dari busana yang dikenakan pada saat menghadiri acara pagelaran tersebut.
Diperbarui : 13 Sep 2021