Tepatnya 2018 lalu, mendung menyelinap di atas kepala kami. Saya seakan tidak kuat melangkah mengikuti langkahnya menuruni anak tangga. Festival Tabut membuat kaki saya pegal luar biasa. Sambari berjalan seperti nenek-nenek, saya mengamati kaki kecilnya yang lincah.
"Ah, sialan! Kayaknya aku perlu diet." Pikir saya menggerutu.
Ini adalah pertama kalinya saya pergi ke Konservasi Puspa Langka di Desa Tebat Monok, Kepahiang, Bengkulu. Bau menyeruak mulai keluar. Bau bangkai bercampur tanah basah terasa lebih pekat karena rintik hujan. Pikiran saya tiba-tiba terbang, teringat film-film horor ala barat.
Gelap. Mendung. Hujan.
Petir. Angin. Kematian.
Bau bangkai ini semakin kuat. Saya memutuskan duduk sejenak.
***
Saat saya duduk di salah satu sudut anak tangga, mata saya tertuju pada satu tanaman. Menjulang sekitar dua meter dikelilingi oleh tanaman liar “bunga putri malu." Tak ada yang istimewa, pikir saya. Tanaman itu mengatup seperti tertidur. Ujung-ujung daunnya yang besar menutupi bagian puncak tanaman. Kata Pak Holidin, penjaga konservasi, bunga ini masih mengalami fase vegetatif atau fase aseksual. Sepintas saya melihat daun-daun bunga bangkai ini mirip daun papaya, yang membedakan adalah daunnya tidak berbentuk lima jari.
Saya ingat, saat kecil saya suka sekali bermain di kebun tetangga. Kerap saya mencium bunganya, baunya kurang lebih mirip seperti yang saya rasakan sekarang. Hanya saja yang ini lebih besar dan tinggi. Teman kecil saya kerap menyebut bunga ini dengan nama yang sama. Ia juga sering bilang kalau bunga ini makanannya ular, jadi saya dilarang menyentuhnya. Terasa bodoh sekali memang, karena mempercayai hal mustahil seperti itu. Namanya juga masih anak-anak!
“Menik! Sini donk! Fotoin!”
Teman saya kembali memanggil sambil mengacungkan tripod. Lamunan saya pecah. Saya pun turun menyusuri tangga.
Area ini masih ditumbuhi beberapa tanaman liar. Tidak ada yang saya tahu namanya. Saya mengambil kamera teman saya itu dari tripod. Cukup merepotkan karena ketika permintaan seperti ini mulai muncul, saya harus jepret sana-sini sampai menemukan gambar yang pas. Dan akhirnya berposelah dia dan saya mengambil foto sekenanya. Lagi pula, capek juga kalau datang ke sini hanya untuk jadi tukang foto doank. Norak saja!
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Sebenarnya, saat saya datang ke sini saya sedikit kecewa karena tidak menemukan bunga Raflesia Arnoldi, seperti yang saya baca di buku kakek dulu. Bunga Bangkai dan Rafflesia adalah dua hal yang berbeda. Bunga bangkai ini tersebar di area ketinggian 120-365 meter dpl dan umumnya ditemukan di area Bengkulu dan Lampung. Meski demikian, saya cukup beruntung karena sempat menyaksikan bunga ini ada di pekarangan rumah tetangga di Jawa Timur, karena area rumah saya berupa pegunungan.
Sama seperti orang di sini, dulu tidak ada yang mengerti kalau bunga bangkai - Amorphophallus titanum ini masuk dalam kategori langka. Kelangkaan ini sudah pasti karena ketidakpahaman warga. Banyak sekali warga kampung yang menebas bunga ini dan mengalihfungsikannya menjadi lahan pertanian.
***
Perjalanan saya masih belum berakhir. Meskipun saya tahu kalau bunga bangkai dan Rafflessia Arnoldi ini dua hal yang berbeda, saya masih tetap ingin melihat bentuknya ketika sudah mekar. Sudah jauh-jauh sampai Bengukulu, rasa-rasanya teman saya ada benarnya juga, alasan ia selalu mengabadikan momen di setiap tempat semata-mata untuk dijadikan kenang-kenangan.
“Cit, ntar fotoin deh! Sayang aja kalau nemu bunga bangkai aku ngga foto.”
“Hmmm, ikut norak juga ya sekarang!” katanya menggoda. Ini karena saya memang bukan orang yang doyan selfie di setiap tempat. Dan saya memang sering ngeledek Citra karena kelewat narsis.
***
Kami berdua terus menyusuri taman konservasi. Hujan masih rintik-rintik. Beberapa orang terlihat memilih berhenti dan kembali mencari tempat berteduh, sementara kami berdua terlanjur basah. Kami lalu memutuskan terus menyusuri area taman konservasi dengan perasaan antara ingin cepat pulang dan melihat bunga bangkai yang mekar secara langsung.
Pemandangan sekitar konservasi masih sama. Bunga bangkainya ada yang memang khusus diberi petak-petak. Entah karena ini tempat awal pembibitan/penanaman ada di sini atau memang sengaja agar tidak dipegang oleh pengunjung. Meski demikian, tidak semuanya didesain seperti ini. Kata Pak Holidin tadi, bunga bangkai ini akan mengalami dua fase, mekar, tumbuh dan mati di tempat yang sama.
Fase Generatif – Fase Mekar dan Menarik Mangsa
Kami menuju ke area yang sangat sepi, nyaris tak ada pengunjung di sekitar kami. Bau bangkai semakin kuat dan tentu saja harapan untuk segera bisa menemukan bunga ini semakin besar. Ini artinya tanaman sudah mencapai fase generatif, masa-masa menarik serangga. Tidak heran kalau bunga ini mengeluarkan aroma yang tidak sedap.
Teman saya dengan antusiasnya menyeret tangan saya menuju ke sebuah titik.Tangannya basah oleh hujan dan saya pun mengikuti sambil menutup dahi lebar saya agar mata tidak terkena hujan.
“Ayo cepetan! Baunya uda deket! Mumpung belum deras.”
Kami berdua berlari, hujan semakin deras. Gadis mungil di depan saya menyampirkan ujung kerudung jingga ke arah samping. Napas pun terengah-engah, dan jantung saya berdegup kencang.
“Yah! Kok…” Teman saya tiba-tiba berhenti. Suaranya terdengar lirih tak bersemangat lagi. Napasnya tersengal-sengal. Saya tahu ia sedang kecewa.
Di depan kami, berdiri bunga Amorphophallus paeoniifolius, masih satu keluarga dengan bunga bangkai yang kami cari. Kelopaknya masih mengatup tapi nyaris terbuka. Artinya bunga ini belum mekar. Tapi baunya luar biasa sudah mulai menyengat hidung.
Ketika bunga ini mekar, maka kelopak bagian dalam akan terbalik keluar, berwarna merah maroon. Tumbuhan ini tidak digolongkan langka oleh pemerintah dan masih bisa dijumpai di beberapa daerah. Berbeda dengan Amorphophallus titanium.
“Masih cantik kok," kata saya menghibur. Saya pun mengambil kamera teman saya dan memulai mengambil gambar untuk kenang-kenangan. Tiba-tiba saya teringat salah satu bunga bangkai yang sedang dalam fase vegetatif tadi. Bentuknya masih mungil seperti rebung bambu tapi berwarna merah. Saya berpikir untuk mengambil foto bunga ini ketika nanti balik ke atas, bisa jadi koleksi foto kolase atau sekedar bahan cerita untuk ponakan.
Saya melihat teman saya tampak gondok. Kerudungnya basah kuyup, ia mulai terlihat kedinginan. Ah, syukurlah, kami berdua sama-sama perempuan. Yang ada bisa seperti scene drama Korea nanti.
Saya menawarkan teman saya untuk berfoto terakhir kalinya. Ia hanya menggelengkan kepala. Ini artinya teman saya sudah bad mood dan ingin segera pulang. Nah, giliran saya yang masih belum ingin pulang tapi mau bagaimana lagi. Saya tidak tahu kota Bengkulu. Saya hanya numpang liburan di rumah teman saya dan kebetulan saja diajak ke sini saat festival.
Kami menaiki tangga ke atas. Saya melihat kiri-kanan dan mengamati detail bunga bangkai yang sengaja dibudidayakan, seolah saya mengucapkan selamat tinggal karena sudah pasti saya tidak tahu kapan akan kembali.
Lokasi Taman Konservasi Puspa Langka. Saya melihat nama ini tertulis di pintu masuk taman konservasi. Lokasinya 50 km dari Kota Bengkulu atau 5 km sebelum pasar Kepahiang. Kalau dikira-kira perjalanan Kami berdua mencapai 1,5 jam dari Kota Bengkulu.
Saya mencatat alamat ini di note Hp, siapa tahu suatu saat saya kembali dan bertemu dengan bunga bangkai yang sudah mekar.
Hujan mengiringi langkah kami berdua. Tampak teman saya melepaskan sepatunya yang basah. Kakinya begitu mungil menyusuri anak tangga. Saya mengambil foto kakinya saat menaiki tangga. Sejenak, saya melihat bunga bangkai kecil yang masih kuncup sebelum pintu keluar.
Aku akan kembali. Batin saya sambari meninggalkan lokasi.
Diperbarui : 08 Sep 2021