Slawi Wetan
Deskripsi
Halo semuanya!
Selamat datang di Kelurahan Slawi Wetan
Slawi Wetan merupakan salah satu dari 5 kelurahan yang ada di Kecamatan Slawi. Slawi Wetan secara administratif terletak di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan slawi secara geografis berbatasan dengan Kecamatan Adiwerna di sebelah utara, kecamatan pangkah di sebelah timur, Kecamatan Lebaksiu di sebelah selatan dan Kecamatan Dukuhwaru di sebelah Barat.
Kecamatan Slawi terkenal dengan produksi teh dan budaya minum dengan menggunakan teh poci, meskipun Kecamatan Slawi bukan merupakan dataran tinggi dengan hawa dingin yang memiliki banyak kebun teh. Salah satu pabrik teh yang terdapat di Slawi Wetan adalah PT. Gunung Slamat yang berlokasi di Jl. Mayjen Sutoyo No.28, Budimulya, Slawi Wetan, Kec. Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah 52411. Slawi merupakan daerah yang memiliki suhu yang cenderung panas dengan kontur tanah landai dan tidak berbukit-bukit karena daerah slawi dekat dengan jalan Pantura. Dikarenakan Slawi Wetan bukan merupakan dataran tinggi, maka bahan-bahan baku pembuatan teh tersebut dipasok dari perkebunan teh yang ada di dataran tinggi di sekitarnya, seperti pada Bumijawa atau Kaligua.
Kantor Kecamatan Slawi berlokasi di Jl. HOS. Cokro Aminoto, Kelurahan Slawi Wetan. Sedangkan Kantor Kelurahan Slawi Wetan berlokasi di Jl. Brigjen Katamso, Slawi Wetan, Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Jarak antara Kelurahan Slawi Wetan dengan Pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah adalah 162 km. Kelurahan Slawi Wetan memiliki letak yang cukup strategis karena terdapat kantor Kecamatan Slawi di Kelurahan Slawi Wetan tersebut.
Kelurahan Slawi Wetan memiliki berbagai macam rumah ibadah, seperti Masjid, Klenteng, Vihara, Dan Gereja. Beberapa masjid yang berlokasi di Kelurahan Slawi wetan diantaranya Masjid Ar-Rohman yang berlokasi di Kembang, Slawi Wetan, Kec. Slawi dan Masjid Al- Fajar yang berlokasi di Jl. Serayu, Purwasari, Slawi Wetan, Kec. Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah 52419. Sedangkan untuk Vihara, terdapat Vihara Buddha Sasana Dipa yang berlokasi di Jl. Jend Sudirman, Curah, Slawi Wetan, Kec. Slawi, Kabupaten Tegal. Klenteng yang ada di Kelurahan Slawi Wetan adalah Klenteng Hok Ie Kiong yang berlokasi di Jl. Jenderal Ahmad Yani No.18, Slawi, Slawi Wetan, Kec. Slawi. Dan untuk gereja, terdapat Gereja Immanuel Slawi yang berlokasi di Jl. HOS. Cokro Aminoto, Kedungcokol, Slawi Wetan, Kec. Slawi.
Terdapat kisah menarik mengenai asal usul nama Slawi yaitu pada awalnya, konon Rara Giyanti Subalaksana putri Ki Gede Sebayu memang dikenal karena kecantikan, kecerdasan dan kelincahannya. Kegemarannya menunggang kuda membuat banyak orang semakin terkesima. Konon jika Rara Giyanti duduk di atas sadel kesayangannya, ia akan seperti bidadari yang turun dari langit biru. Jadi, wajar jika namanya populer di kalangan masyarakat. Wajar jika banyak anak muda atau perawan ingin menikahinya. Ki Gede Sebayu sering didatangi utusan khusus yang menanyakan tentang Rara Giyanti. Ada yang ingin melamar terus terang, ada juga yang hanya mencari informasi. Ki Gede Sebayu harus melayani banyak orang yang ingin menyunting Rara Giyanti. Fakta telah membuktikan bahwa ini akan menimbulkan masalah, karena kekuasaan pengambilan keputusan tidak ada di tangannya sendiri. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menjawab atau menolaknya. Kemudian suatu malam, dia mengucapkan kata-kata baik kepada Rara Giyanti. Rara Giyanti terdiam sejenak. Lalu menjawab dengan sopan. Ternyata Rara Giyanti tidak mengharapkan adu kekayaan, kecantikan dan status. Sarannya adalah sayembara Kesaktian. Dikatakan bahwa siapa pun yang dapat menebang pohon jati besar di Nanshan akan diambil sebagai suami. Bahkan rakyat jelata, miskin, dan tidak resmi, mengabdi seumur hidup. Tak butuh waktu lama bagi permainan tersebut untuk diberitakan oleh publik. Segera setelah itu, seorang perawan yang tertarik untuk menguji kekuatannya datang. Saat itu, dua puluh lima gadis pemberani datang, dan beberapa rombongan. Mereka datang dari tempat yang berbeda. Ada yang dekat, ada yang jauh. Kebanyakan mereka memiliki pethel (kapak) yang tajam. Pethel harus mengayunkan dengan banyak kekuatan untuk membuat tongkat lebih dalam. Dengan cara ini, batang kayu yang biasanya besar dan kuat akan dipotong seiring waktu. Untuk memperingati keberanian mereka, 25 tempat perkemahan dibangun di sekitar pohon jati yang diadakan untuk upacara tersebut. Setiap peserta membuat tenda agar Ki Gede Sebayu bisa menyediakan minuman sebanyak-banyaknya. Tempat ini tiba-tiba menjadi pusat keramaian.
Di hari terakhir, suasana menjadi tegang. Ki Gede Sebayu terus bergumam dan berdoa. Wajah Rara Giyanti Subalaksana pucat. Ketika dia memeluk bahu ibunya, matanya menyipit karena menangis. Dia berpikir, jangan-jangan suara magis itu adalah tipuan para elf dan iblis. Jika seseorang menang, apa yang akan terjadi padanya?. Menjelang sore, seorang siswa datang bersama beberapa remaja yang santun. Ia menyebut dirinya Ki Jadug dan meminta izin untuk mengikuti lomba tersebut. Dia terlambat karena dia baru saja mendengar berita di jalan. Ki Gede Sebayu pun memberikan izinnya, Ki Jadug mengucapkan selamat tinggal pada baptisan sementara, kemudian berdoa dua rakaat di depan semua penonton pemukulan. Memiliki uang tunai untuk berdoa. Seseorang menyeka air matanya. Seseorang tersenyum pahit. Beberapa orang menertawakannya dengan tenang. Segera setelah itu, orang-orang melihat Ki Jadug mengayunkan kapaknya, mengayunkan gerakan silat yang besar. Ternyata pada gelombang kelima, badai mengaum dan bumi berguncang. Orang-orang meninggalkan arena satu demi satu. Pada saat ini, pohon jati besar itu perlahan tumbang tanpa menyentuh siapa pun di sekitarnya. Kemudian datang sorak-sorai antusias. Setelah kata-kata itu jatuh, Kigurd Sebayo berkata kepada semua orang yang hadir. Pohon jati tersebut nantinya akan digunakan untuk membangun masjid di Kalisoka. Orang-orang bubar dengan hati terbuka. Belakangan diketahui bahwa santri Ki Jadug adalah seorang bangsawan Mataram. Ia sengaja merantau untuk belajar dan berdakwah. Setelah menikah dengan Rara Giyanti, ia menggunakan nama aslinya, Pangeran Purbaya. Mereka menjalani kehidupan yang bahagia dan dikenal sebagai tokoh terkemuka di Tagore.
Adapun nama Selawe yang artinya dua puluh lima, dikarenakan karena perjaka yang datang mengikuti sayembara mendapatkan Rara Giyanti berjumlah dua puluh lima. Karena kejadian ini, desa tersebut akhirnya diberi nama Desa Slawi. Kemudian setelah sekian lama, Selawi atau Slawi disebut seperti sekarang ini. Sedangkan Wetan berarti timur, maka Slawi Wetan berarti Slawi bagian Timur.